Senin, 02 November 2015
Sejauh itu
Ada warna disetiap harinya.
Kadang terlihat sama, kadang terlihat sangat berbeda.
Tak dapat kau buat sama seperti kemarin.
Sejauuh itu
Tak terlihat olehku sendiri
Aku bergerak namun seakan diam.
Namun warna itu tetap terbentuk
Membentuk senyum.raih
Sejauh itu
Tak ada kelabu, yang ada hanya kurang paduan
Mungkin sekarang.
Kita tunggu sampai esok, seperti ku tunggu kamu sampai esok.
Sejauh itu
Aku tak bisa meraihmu kembali di waktu lalu.
Aku hanya bisa menunggumu yang esok, namun rasa kemarin.
Seperti warna, tak dapat serupa namun setidaknya rasa lama dipadukan dengan rasa esok.
Semoga lebih terasa, karna menunggumu itu adalah bumbu
dan proses meraihmu kembali adalah memasak.
Memilikimu kembali adalah hidangan santap malam yang dipadu dengan alunan musik yang syahdu.
Mimpi? Ya sekarang memang mimpi.
Jika aku bangun sebentar pagi, kulihat kau didepanku mencium keningku.
"Selamat Pagi", ingin ku dengar jelas di telinga ku.
Sejauh itu.
Hai, menoleh lah..
Aku dibelakangmu..
Maaf, segan memanggilmu keras. Aku belum merasa pantas juga menepuk pundakmu.
Aku tak mau memotong kain yang kau genggam sekarang.
Hanya jarak dan arah mataku yang ku jaga.
Sejauh itu
Aku tak bisa berucap "aku cinta kamu" lagi.
Karena aku tau, harusnya ada kata "masih" setelah kata aku.
Sejauh itu
Senin, 21 September 2015
...
Ketika terang datang, kau berlari.
Ketika lampu padam, kau minta aku mencarimu.
Aku tak melihat.
Kau bilang rasakan, namun hadirmu tak terasa.
Kekosonganku tak kau isi, tapi kau telah penuh.
Dalam lamunanku, terukir guratan diwajahku.
Penuh makna, namun aku tak mengerti.
Bahagiamu membuat semua hilang, namun kesedihanmu membuat aku terisi.
Tak sanggup tangan menggapai pundakmu, kau terlalu jauh.
Diamku tak mengartikan apapun, aku hanya bingung.
Waktu tak akan menunggu aku untuk mengerti.
Hujan tetap turun, langit tetap biru, meskipun kaki ku tak dapat dilangkahkan.
Kau bukan pelukis, sehingga tak mampu memperindah kanvas ini.
Seaindainya kau mau, kanvas ini bukan millikmu.
Titik
Bagaikan titik, aku kecil
Punya peranan, namun aku tetap kecil.
Kalau aku tak ada, kamu lelah mengatur nafasmu.
Tak lazim bila aku di depan
Tak sopan bila aku berada ditengah.
Itu mengganggu kalimatmu.
Bayangkan bila aku tak ada, akan kah sempurna kalimatmu?
Namun ternyata aku menjadi penanda kita.
Kalimat ini dimulai karena kita.
Namun selesai karena aku.
Di Perpustakaan
Kita berada dalam perpustakaan.
Bersama namun tak saling berbicara.
Hanya mataku yang merancu, melihat sekelilingku
kau menunduk serius.
Lama ku rasa jenuh berada disini
Tapi kau mau tetap disini.
Kau tetap disini meramu alasanmu untuk membiarkan ku pergi sendiri.
Lalu ku pergi.
Tak kau tegur aku dengan ucapan salam mu, kau biarkan aku membuka pintu dan melangkah menjauhi perpustakaan itu.
Baru ku tutup pintu ini, sudah ada yang masuk dan menyapamu.
Kau alihkan matamu dari buku yang tak bertuliskan itu.
Segera kau sambut dia,
dan senyummu menjadi penanda bahwa aku tak seharusnya dekat dari tempat yang mendadak ramai ini.
Senin, 23 Maret 2015
Celoteh
Semua berawal dari SATU? Tidak menurut saya, dari NOL.
NOL diisi dengan SATU, lalu dilanjutkan menjadi DUA.
Namun DUA itu tidaklah sempurna. Sampai akhirnya berkuranglah nilai genap itu.
Bertahan? Ya, semua ingin bertahan, menahan, namun? Namun apa?
kaliamat karena yang tak perlu di ungkapkan.
Terpisah di saat langit meneteskan airnya. Terpisah disaat matahari tertutup awan.
Coba? Ya aku coba berucap, namun sosok itu tetap berlalu.
Berlalu menyatu dengan bilangan ganjil lainnya. Tidak ada kapur yang dapat menggarisi langkahnya.
Tertegun, merasa bodoh karna tak dapat bertinfak.
Tidak, aku telah berusaha menarik perhatiannya dengan benang yang ku punya.
Tak lama, terputus. Setelah ku sadar, aku hanya punya benang.
Benang itu tak kuat. Aku tak punya tambang. Aku pun tak mau mengikatnya dengan tambang karna sakit yang dia akan rasa.
Menoleh sebentar, berlalu cepat.
Harapku, bolehkah disini sebentar saja, paling tidak sampai pelangi itu mucul?
Rabu, 04 Maret 2015
ASA
Seakan berada diruang yang hampa udara namun dapat bernafas.
Saya melihat sekuntum bunga dengan tetesan embun, ia dapat tumbuh dengan indahnya.
Melihat sekelilingku, semua tertutup rapat.
Gelap yang hampir sempurna, namun ada setitik cahaya yang lolos dari celah pintu yang terkunci.
Bergerak bebas namun terbatas, berbicara namun hanya suaraku yang kudengar.
Hanya melihat dalam bahagia khayalan.
Tidak kosong, aku ditemani setitik cahaya dan bunga itu.
Ya bunga itu terus senyum menatapku, cahaya itu memberi ketenangan dalam hampa.
Kamu mau kemana? Tidak, aku tidak tahu.
Aku lelah, aku jenuh disini. Aku ingin melihat warna lain, selain kalian.
Mengapa kamu diam? katakan sesuatu ...
Terlalu banyak kata, tetapi malah membuat saya tak dapat berbicara.
Terlalu sedikit keberanian untuk berkata. Iya, aku tak punya nyali seperti singa.
Diam itu bukan emas, diam hanya itu tak bersuara.
Tak bersuara itu tak terdengar.
Berharap hati yang mendengar, namun hati tak bertelinga.
Ketika pitu terbuka, segeralah berlari.
Lari sejauh yang kamu bisa.
"kapan, berapa lama lagi?", gumamku. haha hanya bergumamkan, tak mampu bertindak.
Saya bukan tak mampu, tenagaku habis untuk menunggu. Gairahku larut dalam jenuhku.
Mungkin saya belum siap melihat terang, mungkin saya belum mengerti warna lain.
Terkurung dalam kelambu, meranggkak dalam jaring pola pikir.
Selama waktu berjalan, harapan selalu tumbuh.
Selama dunia berputar, proses berjalan.
Selama sinar masuk, bunga itu tetap tumbuh.
Langganan:
Postingan (Atom)