Rabu, 20 April 2016

Celoteh

Aku yang suka mengganti kata "aku" dengan yang lain, karena aku masih terendap. Atau lebih tepatnya, aku yang ingin terendap. Ah.. tidak tidak... Aku yang memasung langkahku agar diriku tetap disini. Buat apa? ketika seseorang bertanya itu buat apa, aku tak bisa menjawab. Yang aku tau hanya aku mau disini saja. Sarapan dengan sarapan, makan siang dengan makan siang, dan makan malam dengan angan, itu pun kenyang. Hai! Sapaan yang aku bayangkan, padahal kemarin aku yang hal biasa, tapi sekarang aku tuliskan. Lucuuuuuuu... dan lucuuuuuuu... aku ganti kata mengeluh dengan lucu, semoga artinya tak sama. Semoga teh ini bisa manis dengan gula yang cair.

Dari Aku

Kamu... Kamu yang larut dalam nuansa kebahagian dulu, dan tetap ku iringi langkahnya. Kamu yang menyatu dengan udara yang ku hempas, tetap menggerayangi pikiranku. Setiap cerita yang kau mulai, sekarang kau tinggalkan tanpa senyum di akhirnya. Aku... Aku yang menghitung setiap ketukan irama, menunggu tanda masuknya lagu baru. Aku yang sekarang hanya dapat bercerita tentang indahnya bulu merak pada masa depanku. Embun yang ku rasa kemarin, tak sesegar hari ini. Kita... Kita pernah menjadi pemeran utama dalam cerita yang kita buat sendiri. Kita pernah menjadi manik - manik untuk menhiasi kendi yang dibuat dengan teliti. Menjaga agar raut sendu tak merusak keindahan Tuhan. Tertawa... Tertawa kini tak sama dengan kemarin, atau kemarin yang membuat kita lebih tertawa. Tertawa melupakan atau menghindari sekarang, atau aku yang menhindari sekarang, dan kamu? kamu tertawa. Terlalu lupa untuk merembukan akhirnya, sehingga kita tak sepaham akan akhirnya, dan tertawa. (Aku yang tak mampu membuat kata - kata lebih supaya tembok ini mengerutkan keningnya, karena aku tetap ingin menjaga keindahan Tuhan tetap tersenyum)

Selasa, 12 Januari 2016

Tak Selesai

Ku lihat diriku seperti sedang menunggu bus, namun tak kunjung tiba. Padahal banyak bus lain yang berlalu lalang, namun aku tak berani menaikinya. Sampai akhirnya jam menunjukan keberanian untuk aku berkata sudah, namun diri ini merasa enggan beranjak. Aku masih merasa yakin bila bus ku belum lewat. Lampu jalan menyala otomatis, tanda matahari sudah diganti bulan. Namun aku belum mencoba menaiki bus lainnya. Bukan aku tak berani, hanya ku merasa bahwa aku tak akan nyaman disana. Memang sekilas setiap bus sama, namun tiap orang ingin suatu kenyamanan untuk perjalanannya. Mungkin debu debu sudah lelah menertawakan kebodohan ku yang tak ingin mencoba, atau knalpot - knalpot sudah malas untuk meneriaki aku, sehingga tak ada debu dan suara knalpot malam ini. Kau bingung? Ya aku pun tak tau mengapa aku begitu setia menunggu bus ku. Menatap pada satu arah, berharap dia masih ada untuk menerjang perjalananku. Apa yang dipikirkan jembatan penyebrangan tentang diriku? atau apa yang di lamunkan gedung gedung bertingkat tentang kebradaanku di bawahnya? Aku penasaran, akan kah mereka merasa risih atau tak perduli? atau mungkin mereka seperti debu dan knalpot tadi? Cerita ini tak akan selesai, karena aku pun tak tau ujungnya bagaimana. Dan malam kisah ini pun tak akan ku rampungkan sekarang, karna aku tak mengerti appakah aku harus diam atau ada bus lain yang akan datang memberi kenyamanan. Ya minimal seperti bus yang aku tunggu.