Senin, 21 September 2015

...

Ketika terang datang, kau berlari. Ketika lampu padam, kau minta aku mencarimu. Aku tak melihat. Kau bilang rasakan, namun hadirmu tak terasa. Kekosonganku tak kau isi, tapi kau telah penuh. Dalam lamunanku, terukir guratan diwajahku. Penuh makna, namun aku tak mengerti. Bahagiamu membuat semua hilang, namun kesedihanmu membuat aku terisi. Tak sanggup tangan menggapai pundakmu, kau terlalu jauh. Diamku tak mengartikan apapun, aku hanya bingung. Waktu tak akan menunggu aku untuk mengerti. Hujan tetap turun, langit tetap biru, meskipun kaki ku tak dapat dilangkahkan. Kau bukan pelukis, sehingga tak mampu memperindah kanvas ini. Seaindainya kau mau, kanvas ini bukan millikmu.

Titik

Bagaikan titik, aku kecil Punya peranan, namun aku tetap kecil. Kalau aku tak ada, kamu lelah mengatur nafasmu. Tak lazim bila aku di depan Tak sopan bila aku berada ditengah. Itu mengganggu kalimatmu. Bayangkan bila aku tak ada, akan kah sempurna kalimatmu? Namun ternyata aku menjadi penanda kita. Kalimat ini dimulai karena kita. Namun selesai karena aku.

Di Perpustakaan

Kita berada dalam perpustakaan. Bersama namun tak saling berbicara. Hanya mataku yang merancu, melihat sekelilingku kau menunduk serius. Lama ku rasa jenuh berada disini Tapi kau mau tetap disini. Kau tetap disini meramu alasanmu untuk membiarkan ku pergi sendiri. Lalu ku pergi. Tak kau tegur aku dengan ucapan salam mu, kau biarkan aku membuka pintu dan melangkah menjauhi perpustakaan itu. Baru ku tutup pintu ini, sudah ada yang masuk dan menyapamu. Kau alihkan matamu dari buku yang tak bertuliskan itu. Segera kau sambut dia, dan senyummu menjadi penanda bahwa aku tak seharusnya dekat dari tempat yang mendadak ramai ini.